Senin, 14 Januari 2013

[ISD] Bab 10 : Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentrisme






Diskriminasi
Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender,ras, agama,umur, atau karakteritik yang lain. 

Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda. Sedangkan pengertian diskriminasi terhadap penyandang cacat atau difabel lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para difabel secara berbeda lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi difabel yang kita miliki, kita dianggap tidak mampu melakukan aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat dilihat secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan. Para penyedia lapangan pekerjaan kebanyakan enggan untuk menerima seorang penyandang cacat sebagai karyawan. Mereka berasumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu melakukan pekerjaan seefektif seperti karyawan lain yang bukan difabel. Sehingga bagi para penyedia lapangan kerja, mempekerjakan para difabel sama artinya dengan mendorong perusahaan dalam jurang kebangkrutan karena harus menyediakan beberapa alat bantu bagi kemudahan para difabel dalam melakukan aktifitasnya.

Etnosentrisme
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain.

Salah satu contoh etnosentrisme di Indonesia adalah perilaku carok dalam masyarakat Madura. Menurut Latief Wiyata, carok adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara sepintas, konsep carok dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak masuk akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok dinilai dengan pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang beranggapan bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan dianggap tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat Madura, harga diri merupakan konsep yang sakral dan harus selalu dijunjung tinggi dalam masyarakat. Oleh karena itu, terjadi perbedaan penafsiran mengenai masalah carok antara masyarakat Madura dan kelompok masyarakat lainnya karena tidak adanya pemahaman atas konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok tersebut dalam masyarakat Madura. Contoh etnosentrisme dalam menilai secara negatif konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak ditentang oleh para ahli ilmu sosial.

Contoh yang lain adalah kebiasaan memakai koteka bagi masyarakat papua pedalaman. Jika dipandang dari sudut masyarakat yang bukan warga papua pedalaman, memakai koteka mungkin adalah hal yang sangat memalukan. Tapi oleh warga pedalaman papua, memakai koteka dianggap sebagai suatu kewajaran, bahkan dianggap sebagai suatu kebanggan.

Etnosentrisme terjadi jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain. Secara kurang formal etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.

Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.

Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.

Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar